Baitul Maal berasal dari bahasa Arab, bait
yang berarti rumah, dan al-mal yang berarti harta. Jadi
secara etimologis (ma’na lughawi) Baitul Mal berarti rumah untuk
mengumpulkan atau menyimpan harta.
Secara terminologis (ma’na ishtilahi), yaitu suatu lembaga yang diadakan untuk mengurus
masalah keuangan negara atau suatu lembaga keuangan negara yang bertugas
menerima, menyimpan, dan mendistribusikan uang negara sesuai dengan syariat
Islam.
Adapun
tujuan dibentuknya lembaga baitul maal dalam suatu negara, adalah karena baitul
maal mempunyai peranan cukup besar sebagai sarana tercapainya tujuan negara serta
pemerataan hak dan kesejahteraan kaum muslimin. Kegiatan Baitul Maal adalah
menerima titipan BAZIS dari dana zakat, infaq dan sodaqah dan menjalankannya
sesuai dengan peraturan dan amanahnya.
a.
Kedudukan Baitul Maal
Baitul Maal (rumah harta) merupakan bidang sosial dari kegiatan
operasional BMT. Sesuai dengan namanya, kedudukan Baitul Maal memiliki
kesetaraan dengan Baitul Tamwil. Artinya, bidang sosial dan bisnis harus
dapat berjalan secara seimbang. Kedua bidang ini sama-sama penting dalam setiap
aktivitas BMT. Yang membedakan BMT dari bisnis lainnya adalah karena kesamaan
kedudukan antara bidang sosial dengan bidang bisnis. Namun sistem BMT, dengan
memadukan keduanya tersebut, bukan berarti mencampuradukkan antara sosial dan bisnis.
Keselarasan antara sosial
dan bisnis ini dijalankan dengan sistem manajemen yang terpisah. Secara teknis
pembukuan dan pelaporannya juga tersendiri. Namun demikian, keterpaduannya
tetap diperlukan karena misi pemberdayaan BMT sangat terkait dengan dana-dana
sosial. Pengelolaan dana sosial BMT harus berdasarkan prinsip-prinsip manajemen
yang profesional, disamping visi dan target pasarnya harus dibedakan dengan
lembaga amil lain. Dengan demikian, bidang sosial dari BMT, lembaga amil zakat
yang berkonsentrasi pada pendayagunaan zakat untuk pengembangan usaha produktif
mustahiq.
b.
Bidang Kerja Baitul Maal
Secara kolektif atau bersama, umat Islam diharuskan bekerja dan
berusaha untuk membantu saudara muslim yang masih miskin supaya hidup lebih
layak dan berdaya. Kerja kolektif ini, dilakukan dalam kerangka tanggung jawab
sosial. Setiap orang secara bersama-sama memiliki tanggung jawab yang mulia,
untuk mengentaskan kemiskinan umat. Kerjasama ini dilakukan melalui mekanisme
zakat, infak dan sedekah. BMT melalui bidang sosialnya menempatkan dirinya
sebagai mediator agar kerja kolektif ini dapat berjalan lebih baik.
Zakat memiliki peranan yang sangat strategis dalam upaya pengentasan
kemiskinan atau pembangunan ekonomi. Berbeda dengan sumber keuangan untuk pembangunan
yang lain, zakat tidak memiliki dampak balik apapun kecuali ridha dan mengharap
pahala dari Allah semata. Namun demikian, bukan berarti mekanisme zakat tidak
ada sistem kontrolnya. Nilai strategis zakat dapat dilihat melalui ;
Pertama,
zakat merupakan panggilan aqgama. Zakat merupakan cerminan dari keimanan
seseorang. Semakin tinggi dan kuat keimanan seseorang, maka akan semakin ringan
dalam membayar zakat. Inilah yang dalam istilah agama dikenal dengan
berlomba-lomba dalam kebajikan (fastabiqul khairat).
Kedua, sumber
keuangan zakat tidak akan pernah berhenti. Artinya orang yang membayar zakat (muzakki),
tidak akan pernah habis dan yang telah membayar setiap tahun atau periode waktu
yang lain akan terus membayar. Kesadaran akan hak orang lain yang harus
ditunaikan serta haram untuk dikonsumsi inilah yang akan terus mendorong
kesadaran membayar zakat. Zakat akan menjadi pembersih dari hak orang lain yang
ada dalam harta kita. Dengan membayar zakat, kita terbebas dari hak-hak orang
lain.
Ketiga, zakat secara empirik dapat menghapus
kesenjangan sosial dan sebaliknya dapat menciptakan redistribusi aset dan
pemerataan pembangunan. Orientasi zakat memiliki tujuan yang sangat jelas,
yakni memberdayakan kaum yang masih tertinggal serta mencukupi kebutuhan sosial
kaum yang membutuhkan. Kesinambungan konsep ini terintegrasi melalui lembaga
amil atau badan yang mengurusi zakat. Amil akan berperan sebagai lembaga
perantara keuangan (financial intermediary) antara orang kaya (muzakki)
dengan orang miskin (mustahiq). Fungsi ini layaknya lembaga keuangan.
Badan amil memiliki peranan yang strategis dalam rangka menciptakan iklim yang
kondusif demi terciptanya keadilan sosial dan pemerataan pembangunan ekonomi.
c.
Zakat untuk Usaha Produktif
Pendayagunaan
zakat harus berdampak positif bagi mustahiq, baik secara ekonomi maupun
sosial. Dari sisi ekonomi, mustahiq dituntut benar-benar dapat mandiri
dan hidup secara layak sedangkan dari sisi sosial, mustahiq dituntut
dapat hidup sejajar dengan masyarakat yang lain. Hal ini berarti, zakat tidak
hanya didistribusikan untuk hal-hal yang konsumtif saja dan hanya bersifat charity
tetapi lebih untuk kepentingan yang produktif dan bersifat edukatif.
Kelemahan
utama orang miskin serta usaha kecil yang dikerjakannya sesungguhnya tidak
semata-mata pada kurangnya permodalan, tetapi lebih pada sikap mental dan
kesiapan manajemen usaha. Untuk itu, zakat usaha produktif pada tahap awal
harus mampu mendidik mustahiq sehingga benar-benar siap untuk berubah.
Karena tidak mungkin kemiskinan itu dapat berubah kecuali dimulai dari
perubahan mental si miskin itu sendiri. Inilah yang disebut peran pemberdayaan.
Amil
dengan segala kesiapannya merupakan lembaga pemberdayaan dalam arti luas. Amil
juga harus berperan sebagai agen perubahan dan pemberdayaan. Zakat yang dapat
dihimpun dalam jangka panjang harus dapat memberdayakan mustahiq sampai
pada dataran pengembangan usaha. Program-program yang bersifat konsumtif ini
hanya berfungsi sebagai stimulan atau rangsangan dan berjangka pendek, sedangkan
program pemberdayaan ini harus diutamakan. Makna pemberdayaan dalam arti luas
ialah memandirikan mitra, sehingga mitra dalam hal ini mustahiq tidak
selamanya tergantung kepada amil. Tetapi dengan mitra resiko bisa dibagi bersama.
Dalam
hal zakat untuk usaha produktif, maka pelaksanaannya harus memenuhi ketentuan
sebagaimana diatur dalam pasal 29 UU No 38 tahun 1999, sebagai berikut :
a.
Melakukan studi kelayakan
Yang dimaksud studi kelayakan yaitu upaya untuk
memperoleh keyakinan bahwa usaha yang dibiayai dari dana zakat benar-benar
dapat berkembang dan dapat mengembalikan pinjamannya. Hasil dari studi
kelayakan ini harus menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
-
Data yang jelas tentang calon mustahiq
-
Kebutuhan pinjaman yang pasti
-
Kemampuan mengembalikan dengan jangka waktu yang jelas
-
Jumlah bagi hasil yang mampu dibayarkan
-
Peruntukan / alokasi pinjaman yang jelas
b.
Menetapkan jenis usaha produktif
Langkah ini sesungguhnya dapat berupa dua macam.
Pertama, jika mustahiq belum memiliki usaha, maka tugas amil mendorong
dan mengarahkan sehingga mustahiq dapat membuka usaha yang layak.
Sedapat mungkin dihindari kesan pemaksaan apalagi menggurui, karena akan
berdampak kurang positif. Kedua, jika mustahiq telah memiliki usaha
tetapi tidak berkembang, maka tugas amil, menganalisis usahanya. Hasil analisis
dapat menunjukkan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, usahanya dapat
dikembangkan dan yang kedua usahanya sulit untuk berkembang, sehingga perlu
ditemukan alternatif sebagai penggantinya. Pada kemungkinan pertama, tugas
amil, yaitu memotivasi dan menemukan langkah-langkah pengembangannya, namun
pada kemungkinan kedua, maka tugas amil meyakinkan bahwa usahanya berprospek
tidak baik dan mencarikan usaha penggantinya.
c.
Melakukan bimbingan dan penyuluhan
Membimbing dan memberikan penyuluhan ini merupakan
tugas untuk menjaga agar usahanya tetap berjalan dan berkembang serta
mengamankan dana zakatnya. Tanpa fungsi ini, dikhawatirkan dana zakat akan
disalahgunakan untuk kepentingan yang tidak sesuai dengan usulannya. Fungsi ini
selayaknya diperankan konsultan bagi perusahaan. Untuk mengefektifkan fungsi
ini, mustahiq dapat dibuat kelompok, sehingga lebih mudah dalam
pengarahan dan penyuluhan.
d.
Melakukan pemantauan, pengendalian dan pengawasan
Tugas ini menjadi sulit dilakukan manakala mustahiq,
belum menyadari pentingnya pengendalian. Meskipun amil bertanggung jawab atas
pemantauan dan pengawasannya, namun yang terpenting adalah menciptakan
kesadaran pengawasan oleh mustahiq sendiri. Artinya mendidik mustahiq
untuk bertanggung jawab terhadap segala keputusan bisnis dan perilaku
sosialnya.
e.
Mengadakan evaluasi
Evaluasi dilakukan untuk mendapatkan data, bahwa
usaha yang dijalankan dapat berkembang sesuai rencana, serta dana yang
disalurkan benar-benar tepat sasaran. Program ini dapat dilakukan bersama-sama
dengan mustahiq. Diharapkan amil hanya akan memfasilitasi, sehingga mustahiq
yang akan melakukan evaluasi sendiri.
f.
Membuat laporan
Pelaporan merupakan wujud transparasi dan akuntabilitas lembaga amil
zakat. Hasil pendayagunaan zakat untuk usaha produktif harus dapat dilaporkan
secara terbuka kepada masyarakat termasuk pemerintah dan muzakki sendiri.
Pelaporan dapat bersifat kuantitatif dan juga kualitatif.
d.
Akuntansi Baitul Maal dan LAZ
Tujuan utama akuntansi
keuangan Baitul Maal adalah untuk menyajikan laporan keuangan yang layak
sebagai bahan informasi para pihak yang berkepentingan. Para pihak yang
berkepentingan tersebut jumlahnya sangat banyak. Pemerintah selaku pemberi izin
operasional membutuhkan laporan keuangan zakat, sebagai bahan pertimbangan
dalam pengawasan dan pembinaannya. Akuntan publik, sebagai lembaga profesional
di bidang audit berkepentingan untuk memberikan pernyataan tentang kinerja
keuangan, sehingga akan semakin meningkatkan performance Baitul Maal.
Yang paling berkepentingan
langsung terhadap penerbitan laporan keuangan baitul maal sesungguhnya
adalah masyarakat itu sendiri terutama para muzakki. Karena muzakki adalah
mereka yang berhubungan langsung dengan amil. Mungkin ada sebagian muzakki yang tidak memerlukan laporan keuangan, karena
pembayaran zakatnya dianggap ibadah, sehingga tidak pernah diperhitungkan atau
dengan kata lain, uang yang telah dibayarkan dianggap telah hilang.
Namun sesungguhnya ini hanya
bersifat sementara dan sesaat. Muzakki harus disadarkan bahwa pembayaran
zakat itu uangnya tidak hilang, sehingga membutuhkan laporan perkembangannya.
Atas dasar tersebut, manajemen baitul maal harus secara berkala
menerbitkan laporan keuangannya. Laporan ini menjadi sangat strategis, dalam
rangka meningkatkan kepercayaan para calon muzakki. Keyakinan mereka
terhadap citra lembaga amil, dapat dibangun melalui calon laporan keuangan yang
benar.
Sejauh ini belum ada standar
akuntansi amil zakat. Hal ini disebabkan lembaga amil merupakan organisasi baru
yang akan terus mengalami perkembangan dan perubahan. Namun, jika dilihat dari
sifat organisasinya, yakni organisasi sosial (nirlaba), maka sistem
akuntansinya dapat merujuk pada SAK No.45 tentang sistem akuntansi untuk
organisasi non profit/nirlaba.
Secara umum, prinsip
akuntansi LAZ Baitul Maal harus memenuhi standar akuntansi pada umumnya,
yakni :
a.
Accountability
Yaitu
pembukuan harus dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, karenanya harus
didukung oleh bukti-bukti yang sah dan akurat.
b.
Auditable
Yaitu
pembukuan dapat dengan mudah dipahami oleh para pihak pemakai laporan, mudah
ditelusuri dan dapat dicocokkan.
c.
Simplicity
Yaitu
pembukuan disesuaikan dengan kepraktisan, sederhana dan dapat disesuaikan
dengan kebutuhan LAZ tanpa harus mengubah prinsip penyusunan laporan keuangan.
Jenis-jenis
Laporan Keuangan LAZ
Jenis laporan keuangan yang harus disajikan oleh lembaga amil zakat
meliputi :
a.
Neraca
Neraca adalah laporan keuangan yang menggambarkan
posisi keuangan baitul maal antara kekayaan organisasi di satu sisi
dengan kewajiban dan modalnya di sisi yang lain. Tujuan disusunnya neraca baitul
maal adalah untuk menyediakan informasi mengenai jumlah kekayaan di sisi
aktiva dan kewajiban serta modal di sisi pasiva. Dengan laporan ini, para pihak
yang berkepentingan dapat membaca kondisi keuangan dan kekayaan organisasi
secara umum.
Tujuan dari penyajian neraca ini meliputi :
1.
Menilai kemampuan organisasi dalam memberikan jasa secara
berkelanjutan.
2.
Menilai likuiditas, fleksibilitas keuangan, kemampuannya untuk memenuhi
kewajibannya serta kebutuhan pendanaan eksternal.
b.
Laporan sumber dan penggunaan dana
Laporan ini mencerminkan kinerja organisasi terutama
kemampuannya menarik dana (fundrising) dalam jumlah dan jenis yang
banyak serta kemampuannya dalam mendistribusikan dana secara tepat sasaran,
sehingga tujuan zakat dapat terlaksana secara efektif dan efisien. Laporan ini disusun
dengan tujuan ;
1.
Melihat pengaruh transaksi dan peristiwa lain yang dapat mengubah
jumlah dan sifat dana.
2.
Hubungan antara transaksi dan sifat lainnya.
3.
Pola mendistribusikan dana sesuai dengan tuntunan syar’i
Sedangkan
kegunaan dari laporan ini meliputi :
1.
Untuk mengevaluasi kinerja organisasi secara khusus, yakni pada setiap
bidang. Bidang pengumpulan dana dan distribusi akan sangat mudah di evaluasi.
2.
Untuk menilai upaya, kemampuan dan kesinambungan organisasi dalam
memberikan pelayanan.
3.
Untuk menilai tanggung jawab dan kinerja manajemen.
c.
Laporan arus kas
Laporan arus kas merupakan laporan yang
menggambarkan jumlah kas masuk dan kas keluar pada satu periode tertentu.
Laporan arus kas dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu ; arus kas dari
aktivitas operasi, aktivitas investasi dan aktivitas pendanaan.
1.
Arus kas dari aktivitas operasi
-
Menggambarkan arus kas masuk dan keluar dari aktivitas utama
organisasi.
-
Merupakan indikator yang menentukan apakah operasi organisasi
menghasilkan arus kas yang cukup untuk memelihara kemampuan organisasi tanpa
harus mengandalkan pendanaan dari luar.
-
Contoh arus kas utama operasi meliputi : penerimaan kas dari zakat,
infaq, sedekah serta sumber lain. Pengeluaran kas untuk fakir miskin. Belanja
organisasi dan personalia, dll.
2.
Arus kas dari aktivitas investasi
-
Mencerminkan arus kas masuk dan keluar sehubungan dengan sumber daya
organisasi yang bertujuan untuk menghasilkan pendapatan dan arus kas masa
depan.
-
Beberapa contoh arus kas ini meliputi : pembayaran kas untuk pembelian
aktiva tetap, pengeluaran kas untuk penanaman investasi pada perusahaan lain,
penerimaan kas dan penjualan aktiva tetap, penerimaan kas dari bagi hasil
investasi maupun simpanan.
3.
Arus kas dari aktivitas pendanaan
-
Menggambarkan arus kas masuk dan kas keluar dari sumber pendanaan
jangka panjang.
-
Contoh arus kas ini seperti ; penerimaan kas dari pembiayaan jangka
panjang serta pembayaran angsurannya.
4.
Laporan dana termanfaatkan
Sebagaimana
diketahui, akuntansi menghendaki adanya pelaporan yang jelas dari setiap
transaksi keuangannya. Selain dimunculkan dalam laporan neraca, juga harus
dibuat laporan tambahan yang dapat memperjelas angka-angka yang tersaji di
dalam neraca. Laporan tersebut adalah laporan dana termanfaatkan. Laporan dana
termanfaatkan setiap saat akan mengalami perubahan, seiring dengan aktivitas
amil yang lain. Perubahan ini harus dapat disajikan secara lengkap.
5.
Catatan atas laporan keuangan
Laporan
ini berisi tentang rincian aktivitas organisasi yang berfungsi memberikan
penjelasan tentang laporan keuangan. Laporan ini dapat berwujud kualitatif
maupun kuantitatif. Rincian catatan pada umumnya berisi tentang :
-
Informasi umum mengenai kondisi organisasi
-
Kebijakan akuntansi yang digunakan sebagai dasar penyusunan laporan
keuangan
-
Penjelasan dari setiap rekening yang masih membutuhkan penjelasan
-
Kejadian setelah tanggal neraca
-
Informasi tambahan lainnya yang dianggap penting
Hal
penting yang harus dipahami, berkaitan dengan penyusunan laporan keuangan
Baitul Maal dan LAZ, harus diungkapkan mengenai informasi penerimaan non kas,
seperti penerimaan sedekah dalam bentuk barang, hibah barang dll.
v Baitul Mal wa at Tamwil di Indonesia
Baitul mal wa at-tamwil (BMT) atau dapat juga di tulis dengan baitul maal
wa baitul tamwil secara harfiah/lughowi baitul mal berarti rumah dana dan
baitul tamwil berarti rumah usaha.
Istilah BMT adalah penggabungan dari baitul maal dan baitut tamwil. Baitul
maal adalah lembaga keuangan yang kegiatannya mengelola dana yang bersifat
nirlaba (sosial). Sumber dana diperoleh dari zakat, infak, dan sedekah, atau
sumber lain yang halal). Adapun baitut tamwil adalah lembaga keuangan yang
kegiatannya adalah menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dan bersifat profit
motive.[1]
Sebagai lembaga sosial, baitul maal memilki kesamaan fungsi dan peran
dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ), oleh karena itu, baitul maal harus didorong
agar mampu berperan secara profesional menjadi LAZ yang mapan. Adapun fungsi
tersebut paling tidak meliputi upaya pengumpulan dana zakat, infaq, sedekah,
wakaf dan sumber dana-dana sosial yang lain, dan upaya pentasharufan zakat
kepada golongan yang berhak sesuai dengan ketentuan asnabiah (UU No. 38 1999).
Sebagai lembaga bisnis, BMT lebih mengembangkan usahanya pada sektor
keuangan, yakni simpan pinjam. Usaha ini seperti usaha perbankan yakni
menghimpun dana anggota dan calon anggota (nasabah) serta menyalurkannya kepada
sektor ekonomi yang halal dan menguntungkan. Namun demikian terbuka luas bagi
BMT untuk mengembangkan lahan bisnisnya pada sektor riil maupun sektor keuangan
lain yang dilarang dilakukan oleh lembaga keuangan bank. Karena BMT bukan bank,
maka ia tidak tunduk pada aturan perbankan.
Pada dataran indonesia, badan hukum yang paling mungkin untuk BMT adalah
koperasi, baik serba usaha (KSU) maupun simpan pinjam (KSP). Namun demikian,
sangat mungkin dibentuk perundangan tersendiri, mengingat sistem operasional
BMT tidak sama persis dengan perkoperasian, semisal LKM (lembaga keuangan
mikro) syari’ah, dll.[2]
v Tujuan BMT
Didirikannya
BMT bertujuan untuk meningkatkan kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan
anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Pengertian
tersebut dapat dipahami mengingat BMT berorientasi pada usaha peningkatan
kesejahteraan anggota dan masyarakat. Anggota harus diberdayakan (empowering)
supaya dapat mandiri. Dengan sendirinya, tidak dapat dibenarkan jika para
anggota dan masyarakat menjadi sangat tergantung kepada BMT. Dengan menjadi
anggota BMT, masyarakat dapat meningkatkan taraf hidup melalui peningkatan
usahanya.[3]
v Prinsip Utama BMT
Dalam
melaksanakan usahanya BMT berpegang teguh pada prinsip utama sebagai berikut:
1.
Keimanan dan ketakwaan kepada Allah
SWT dengan mengimplementasikannya pada prinsip-prinsip syari’ah dan muamalah
Islam ke dalam kehidupan nyata.
2.
Keterpaduan, yakni nilai-nilai
spiritual dan moral menggerakkan dan mengarahkan etika bisnis yang dinamis,
proaktif, progressif adil dan berakhlaq mulia.
3.
Kekeluargaan, yakni mengutamakan
kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.
4.
Kebersamaan, yakni kesatuan pola
pikir, sikap dan cita-cita antar semua elemen BMT.
5.
Kemandirian, yakni mandiri di atas
semua golongan politik, tidak tergantung dengan dana-dana pinjaman dan bantuan
tetapi senantiasa proaktif untuk menggalang dana masyarakat sebanyak-banyaknya.
6.
Profesionalisme, yakni semangat
kerja yang tinggi yang dilandasi dasar keimanan, tidak hanya berorientasi pada
kehidupan dunia tetapi juga kehidupan akhirat.
7.
Istiqomah; konsisten; konsekuen,
kontinuitas/berkelanjutan dan tidak putus asa.[4]
Selain
prinsip-prinsip utama diatas, yang paling mendasar adalah bahwa seluruh
aktivitas BMT harus dijalankan berdasarkan prinsip muamalah (ekonomi) dalam
Islam.[5]
Prinsip muamalah
Islam mendorong dan menjiwai BMT dalam:
1.
Melaksanakan segala kegiatan ekonomi
dengan pola syariah.
2.
Berbagi hasil, baik dalam kegiatan
usaha maupun dalam kegiatan intern lembaga.
3.
Berbagi laba usaha dan balas jasa
sebanding dengan partisipasi modal dan kegiatan usahanya.
4.
Pengembangan SDI (Sumber Daya
Insani).
5.
Pengembangan sistem dan jaringan
kerja sama, kelembagaan dan manajemen.[6]
v Fungsi BMT
BMT
mempunyai fungsi yakni sebagai berikut:
1.
Mengidentifikasi, memobilisasi,
mengorganisasi, mendorong dan mengembangkan potensi serta kemampuan potensi
ekonomi anggota , kelompok anggota muamalat (pokusma) dan daerah kerjanya.
2.
Meningkatkan kualitas SDM anggota
dan pokusma menjadi lebih profesional dan Islami sehingga semakin utuh dan
tangguh dalam mengahadapi persaingan global.
3.
Menggalang dan memobilisasi potensi
masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan anggota.
4.
Menjadi perantara keuangan (financial
intermediary) antara orang kaya sebagai shohibul maal dengan dhu’afa
sebagai mudharib, terutama untuk dana-dana sosial seperti zakat, infaq,
shadaqoh, wakaf, hibah dll.
5. Menjadi
perantara keuangan antara pemilik dana baik sebagai pemodal maupun penyimpan
dengan pengguna dana (mudarib) untuk mengembangkan usaha produktif.[7]
[1] Hertanto Widodo, Ak. Dkk, PAS
(Pedoman Akuntansi Syariat) Panduan Praktis Operasional Baitul Mal Wat Tamwil
(BMT) (bandung: Mizan, Cet. I, 1999), 81
[2] Muhammad Ridwan, Manajemen
Baitul Maal Wa Tamwil, (Yogyakarta: UII Pres, 2004), 126
[3] Muhammad Ridwan, Sistem dan
Prosedur Pendirian Baitul Mal wat-Tamwil (BMT) (Yogyakarta: Citra media,
Cet. I, 2006), 5.
[4] Muhammad Ridwan, Sistem dan
Prosedur Pendirian Baitul Mal wat-Tamwil (BMT), 7-8
[5] Hertanto Widodo, dkk, PAS
(Pedoman Akuntansi Syariat): Panduan Praktis Operasional Baitul Maal wat Tamwil
(BMT) (Bandung: Mizan, 1999), 82
[6] Muhammad Ridwan, Sistem dan
Prosedur Pendirian Baitul Maal wat Tamwil (BMT), 9
[7] Muhammad Ridwan, Manajemen
Baitul Maal Wa Tamwil, 128-131
DAFTAR PUSTAKA
·
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), (Yogyakarta;
UII Press, 2011), Cet.Ke-3
·
Zaini Abdad, Lembaga Perekonomian Ummat di Dunia Islam, (Bandung:
Angkasa, 2003), Cet.Ke-1.
·
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah; Deskripsi dan Ilustrasi,
(Yogyakarta: Ekonisia, 2003).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar