A.
Agama dalam Kehidupan
Kehidupan beragama pada dasarnya
merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan gaib, luar biasa atau
supernatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat,
bahkan terhadap segala gejala alam. Kepercayaan itu menimbulkan perilaku
tertentu, seperti berdoa, memuja dan lainnya, serta menimbulkan sikap mental
tertentu, seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah, dan lainnya dari individu
dan masyarakat yang mempercayainya. Karenanya, keinginan, petunjuk, dan
ketentuan kekuatan gaib harus dipatuhi kalau manusia dan masyarakat ingin
kehidupan ini berjalan dengan baik dan selamat. Kepercayaan beragama yang
bertolak belakang dari kekuatan gaib ini tampak aneh, tidak alamiah, dan tidak
rasional dalam pandangan individu dan masyarakat modern yang terlalu
dipengaruhi oleh pandangan bahwa sesuatu diyakini ada kalau konkret, rasional,
alamiah atau terbukti secara empirik dan ilmiah. Namun demikian, kehidupan
beragama adalah kenyataan hidup manusia yang ditemukan sepanjang sejarah
masyarakat dan kehidupan pribadinya. Adanya aturan terhadap individu dalam
kehidupan bermasyarakat, berhubungan dengan alam lingkungannya atau dalam
berhubungan dengan Tuhan juga ditemukan di setiap masyarakat, dimana dan kapan pun.
Adanya aturan kehidupan yang dipercayai berasal dari Tuhan juga termasuk ciri
kehidupan beragama. Semuanya ini menunjukkan bahwa kehidupan beragama aneh tapi
nyata, dan merupakan gejala universal, ditemukan dimana dan kapan pun dalam
kehidupan individu dan masyarakat.
B.
Sistem Politik dalam Kehidupan
Sistem politik dalam kehidupan negara
memiliki arti yang luas. Suatu sistem politik terdiri dari Interaksi peranan
para warga negara yang secara aktif menjadi insan politik dalam menentukan
kehidupan negara. Politik merupakan alat untuk mencapai tujuan dari setiap
orang atau golongan. Pada dasarnya ilmu politik itu baik, tergantung dari hati
nurani setiap orang yang menerapkannya. Setiap warga negara dalam peranannya
sebagai insan politik dapat sekaligus memainkan peranan – peranan lain (selain sistem
politk), yaitu dalam sistem ekonomi, sosial, keagamaan, dan lain - lain.
Dengan demikian, jika seseorang sudah
menjadi bagian dari kegiatan politik di negaranya, maka ia akan lebih akrab
dengan komunikasi politik daripada komunikasi – komunikasi sosial lainnya.
Sebagai warga negara, kita hendaknya menyadari bahwa dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara terdapat perbedaan yang sangat mendasar tentang konsep sistem
politik yang diterapkan. Oleh sebab itu, negara yang menerapkan sistem politik
demokrasi harus mampu menjungjung tinggi adanya realitas perbedaan sistem
politik yang dianut oleh setiap negara. Perbedaan sistem politik jelas membawa
pengaruh terhadap perbedaan sistem lain yang harus kita sikapi secara selektif
dan obyektif demi stabilitas dan kemajuan bangsa.
C.
Agama dan Sistem Politik
Sebagaimana telah diungkap bahwa pada
masyarakat primitif, sistem politik tidak terpisah. Kepala suku punya kekuasaan
karena mereka dipercayai memiliki banyak kekuatan gaib. Kepercayaan Jawa bahwa
kekuasaan yang ada pada seorang adalah karena ketentuan Tuhan. Tidak seorang
pun yang berhak mendongkelnya kecuali para resi,
yaitu pertapa yang tidak punya keinginan sedikitpun terhadap dunia. Kerajaan
Jepang dipimpin oleh Kaisar Hirohito yang dipercayai sebagai keturunan Dewa
Matahari. Kerajaan Mesir Kuno dipimpin oleh Raja Ramses II yang sezaman dengan
Nabi Musa, yang mendakwakan dirinya sebagai Tuhan. Demikian juga Raja Namrud di
zaman Nabi Ibrahim mendakwakan dirinya sebagai Tuhan. Dengan demikian ada dua
tipe hubungan kekuasaan politik dengan Tuhan dan Agama. Pertama, yang mendakwakan dirinya sebagai Tuhan; kedua, yang dipercayai bahwa penguasa
mendapatkan kekuasaan dari Tuhan atau kekuatan gaib. Durkheim berpendapat bahwa
masyarakat dipersatukan dengan agama. Persatuan masyarakat membutuhkan
pemimpin. Pemimpin melaksanakan kepemimpinannya didasarkan kepada Agama yang
mempersatukan masyarakat yang bersangkutan.
Sebelum
kedatangan penjajah barat, disebagian besar Indonesia sudah berdiri kerajaan
kerajaan besar, kerajaan Hindu, kerajaan Budha dan kerajaan Islam. Kekuasaan
politik membutuhkan legitimasi. Kekuasaan yang didasarkan kepada Agama
dikatakan bahwa ia telah ditentukan oleh Tuhan. Siapa yang akan menjadi
penguasa akan mendapat legimitasi dari Tuhan. Legimitasi religius ini memang
tidak rasional akan tetapi, kalau dibandingkan dengan sistem demokrasi, sistem
yang legimitasinya di gantungkan kepada mayoritas pilihan rakyat juga tidak objektif dan kurang
rasional rasionalitas ditampilkan dari penyampaian visi dan misi. Legimitasi
dari sistem deokrasi didasarkan kepada pilihan rakyat. Namun, pilihan rakyat
itu tidak pernah secara aklamasi. Karena itu, pilihan di jatuhkan kepada
pemilih terbanyak, walaupun dengan rumus paling kurang separo tambah satu kalau
yang dipilih itu satu dari dua. Yang menjadi patokan adalah jumlah kepala yang
memilih, tidak isi kepala yang memilih.
Asumsi sistem demokrasi bahwa rakyat
memilih berdasarkan pengetahuan mereka terhadapkan terhadap visi dan msi calon
serta kepercayaan mereka kepada calon, hanya berlaku pada rakyat, minimal
pemilih, yang berpendidikan dan mengetahui calon dengan baik. Di masyarakat
yang kebayakan pemilih tidak rasional, tetapi pemilih tradisional, yaitu yang
mendasarkan pemilih kepada agama, etnis, keturunan, dan suku bangsa si calon,
seperti kebanyakan pemilih di Indonesia, menang di kalangan rakyat yang kurang
berpendidikan dan bersifat primoridial atau paternalisme adalah mampu
memengaruhi rakyat yang kurang kritis. Yang akan menang juga yang pandai
mendekati pemimpin informal. Karena itu, kita menyaksikan di musim kampanye,
baik pemilihan legislatif atau pemilihan presiden dan wakil presiden, kiai-kiai
dan pemimpin pesantren sering dikunjungi oleh calon. Kalau berhasil mempengaruhi
kiai dan pemimpin pesantren, besar kemungkinan akan menang karena kiai dan
pesantren di Jawa punya pengikut yang sangat banyak. Pengikut kiai dan pemimpin
pesantren sangat patuh kepada kiainya.
Kemudian melaksanakan pemilihan umum,
apalagi di negara sebesar Indonesia ini dengan daerah-daerah yang banyak masih
sulit dijangkau dengan mobil dan kereta api, tentu membutuhkan biaya yang
sangat banyak. Biaya itu bukan hanya dibutuhkan komisi pemilihan umum (KPU)
saja, tetapi para calon legislatif dan calon presiden serta wakilnya harus
mengeluarkan biaya demikian besar untuk berkampanye di kalangan rakyat
Indonesia yang bermacam ragam dan tinggal terpencar-pencar di seantero wilayah
Republik Indonesia. Seperti ketua KPU Nazaruddin dalam suatu pertemuan di Jakarta
tanggal 6 Mei 2004 mengajukan perkiraan biaya KPU untuk menyelenggarakan pemilu
sebanyak Rp 3,2 triliun. Direktur Eksekutif Pusat Reformasi (Cetro), Hadar
Navis Gumay, mengatakan bila dihitung secara rata-rata biaya pilpres per orang
pemilih adalah Rp 16,123. Hasil itu didapat dengan membagikan jumlah anggaran
pilpres sebesar Rp 2,5 triliun dengan 155,048,803 pemilih di seluruh Indonesia.
“sedangkan biaya Pilkada adalah Rp 28,145 per orang, 56 persen lebih besar
dibanding pilpres,” kata Handar dalam diskusi soal pilkada di Jakarta, Rabu 9
Maret 2004.
Kemudian legitimasi dari Tuhan seperti
dalam teokrasi biasa dianggap sebagai alat untuk memantapkan kekuasaan
diktator. Dengan menyandarkan kekuasaan dan juga kebijakan yang ditempuh kepada
Tuhan dan agama, rakyat tidak punya hak lagi untuk mengkritik sang penguasa.
Anggapan ini benar kalau agama yang dimaksud adalah agama sosiologis atau
antropologis, kalau pilihan dijatuhkan pada seorang calon presiden atau wakil
presiden atau calon legislatif hanya sekedar mengusung label agama atau partai
agama untuk mempengaruhi rakyat. Akan tetapi, kalau beragama secara teologis,
yaitu melaksanakan dan menghayati segala aspek ajaran agama, ia tidaklah akan
menjadi diktator. Ia bertanggung jawab tidak hanya kepada dewan perwakilan
rakyat, tetapi pertama-tama kepada Allah yang Maha Mengetahui segala
dilakukannya.
D.
Hubungan Agama dengan Politik
Agama dan politik merupakan satu hal
yang berbeda jika dilihat dari sisi definisi. Tapi agama dan politik bisa bagai
dua sisi mata uang, bersatu tapi tidak bertemu. Agama mengajarkan keshalehan
pribadi dan sosial, sedang politik hingga saat ini dan dalam realitasnya
mengajarkan siasat, strategi, lobi, yang berinti pada kekuasaan. Ketika orang
telah berbicara kekuasaan, dominasi mayoritasnya adalah nafsu serakah,
keinginan untuk berkuasa. Jika hal ini yang terjadi maka kesalehan pribadi dan
sosial akan terpinggirkan, demi kekuasaan, bukankah ini yang terjadi di dunia
ini? Dalam politik kita mengenal kiasan yang aneh tapi nyata, ”tidak ada kawan
abadi yang ada adalah kepentingan abadi”. Jika berbicara kepentingan ini juga
berkait erat dengan kekuasaan. Demi kekuasaan lawan bisa jadi kawan.
Politik Agama
Politik agama, saya memahami politik
agama sebagai usaha memasukan nilai-nilai agama dalam kehidupan berpolitik.
Orang yang berpolitik dengan agama tujuannya bukan kekuasaan tetapi untuk
memperjuangkan kesejahteraan hidup konstituennya, yaitu ”rakyat”, golongan
manusia yang paling tersingkir hidupnya dalam perang para politisi untuk kekuasaan.
Memasukan nilai-nilai agama dalam perpolitikan dinegara ini mungkin pernah ada
(pada jaman dahulu) sekaligus dicontohkan oleh politisi yang beragama. Tapi
Politik agama akan sangat memiliki arti yang sangat mengerikan jika agama
dijadikan object politik/ politisasi agama. Ketika Agama dijual hanya untuk
mendapatkan dukungan kekuasaaan maka hilanglah ruh keagamaan itu sendiri yang
pada intinya mengajarkan manusia pada keshalehan sosial dan ritual. Sebelum
berkuasa panji-panji agama senantiasa berkumandang dari bibirnya, tetapi
setelah mendapatkan kuasa, tak sedikitpun nilai-nilai Agama merasuk dalam
dirinya, malah tingkah laku korup yang akhirnya menjerat dirinya dalam tudingan
hukum sosial.
Agama Politik
Sedang Agama politik, bagai satu
keping mata uang, walau satu tapi tak bisa bertemu. Walau tak bertemu tetapi
bisa mempunyai hubungan dan keterikatan yang erat satu sama lain. Misalnya
orang yang mendewa-dewakan politik sebagai jalan hidup dan pemikirannya, bisa
dikatakan orang tersebut telah menjadikan politik sebagai Agamanya dan
kekuasaan menjadi Tuhannya. Hal ini sesuai dengan pengertian Agama secara umum
yang berarti pegangan hidup, aturan, ajaran, ketaatan dan lain-lain.
Jika yang di bicarakan agama yang sebenarnya, dan
politik yang sebenarnya juga sangat erat hubungannya. Politik yang baik dan
benar mestinya ber pedoman pada ajaran Agama. Nilai-nilai akhlak dan moral
agama bisa ditarik untuk membangun etika politik sehingga politik menjadi
sesuatu yang bermoral, etis dan tidak menghalakan segala cara. Agama punya
peranan hubungan manusia dengan tuhan dan politik hubungan manusia dengan
manusia. Namun masyarakat pada umumnya sudah memfonis politik itu jahat kotor,
curang serta kejam dan lain-lain. Dan dalam kenyataannya politisi yang sukses
politisi yang di sukai rakyat adalah mereka yang menggunakan Agama sebagai
permainan politiknya.
Contohnya: politisi yang membela rakyat yang
lemah.
"Substansi agama itu harus diterapkan di politik, maka marilah kita
berpolitik dengan substansi yang ada di agama sehingga kita berpolitik dengan
moral yang baik."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar