Selasa, 25 Oktober 2011

AGAMA DAN POLITIK


A.    Agama dalam Kehidupan
Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan gaib, luar biasa atau supernatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam. Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdoa, memuja dan lainnya, serta menimbulkan sikap mental tertentu, seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah, dan lainnya dari individu dan masyarakat yang mempercayainya. Karenanya, keinginan, petunjuk, dan ketentuan kekuatan gaib harus dipatuhi kalau manusia dan masyarakat ingin kehidupan ini berjalan dengan baik dan selamat. Kepercayaan beragama yang bertolak belakang dari kekuatan gaib ini tampak aneh, tidak alamiah, dan tidak rasional dalam pandangan individu dan masyarakat modern yang terlalu dipengaruhi oleh pandangan bahwa sesuatu diyakini ada kalau konkret, rasional, alamiah atau terbukti secara empirik dan ilmiah. Namun demikian, kehidupan beragama adalah kenyataan hidup manusia yang ditemukan sepanjang sejarah masyarakat dan kehidupan pribadinya. Adanya aturan terhadap individu dalam kehidupan bermasyarakat, berhubungan dengan alam lingkungannya atau dalam berhubungan dengan Tuhan juga ditemukan di setiap masyarakat, dimana dan kapan pun. Adanya aturan kehidupan yang dipercayai berasal dari Tuhan juga termasuk ciri kehidupan beragama. Semuanya ini menunjukkan bahwa kehidupan beragama aneh tapi nyata, dan merupakan gejala universal, ditemukan dimana dan kapan pun dalam kehidupan individu dan masyarakat.

B.     Sistem Politik dalam Kehidupan
Sistem politik dalam kehidupan negara memiliki arti yang luas. Suatu sistem politik terdiri dari Interaksi peranan para warga negara yang secara aktif menjadi insan politik dalam menentukan kehidupan negara. Politik merupakan alat untuk mencapai tujuan dari setiap orang atau golongan. Pada dasarnya ilmu politik itu baik, tergantung dari hati nurani setiap orang yang menerapkannya. Setiap warga negara dalam peranannya sebagai insan politik dapat sekaligus memainkan peranan – peranan lain (selain sistem politk), yaitu dalam sistem ekonomi, sosial, keagamaan, dan lain - lain.
Dengan demikian, jika seseorang sudah menjadi bagian dari kegiatan politik di negaranya, maka ia akan lebih akrab dengan komunikasi politik daripada komunikasi – komunikasi sosial lainnya. Sebagai warga negara, kita hendaknya menyadari bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat perbedaan yang sangat mendasar tentang konsep sistem politik yang diterapkan. Oleh sebab itu, negara yang menerapkan sistem politik demokrasi harus mampu menjungjung tinggi adanya realitas perbedaan sistem politik yang dianut oleh setiap negara. Perbedaan sistem politik jelas membawa pengaruh terhadap perbedaan sistem lain yang harus kita sikapi secara selektif dan obyektif demi stabilitas dan kemajuan bangsa.

C.    Agama dan Sistem Politik
Sebagaimana telah diungkap bahwa pada masyarakat primitif, sistem politik tidak terpisah. Kepala suku punya kekuasaan karena mereka dipercayai memiliki banyak kekuatan gaib. Kepercayaan Jawa bahwa kekuasaan yang ada pada seorang adalah karena ketentuan Tuhan. Tidak seorang pun yang berhak mendongkelnya kecuali para resi, yaitu pertapa yang tidak punya keinginan sedikitpun terhadap dunia. Kerajaan Jepang dipimpin oleh Kaisar Hirohito yang dipercayai sebagai keturunan Dewa Matahari. Kerajaan Mesir Kuno dipimpin oleh Raja Ramses II yang sezaman dengan Nabi Musa, yang mendakwakan dirinya sebagai Tuhan. Demikian juga Raja Namrud di zaman Nabi Ibrahim mendakwakan dirinya sebagai Tuhan. Dengan demikian ada dua tipe hubungan kekuasaan politik dengan Tuhan dan Agama. Pertama, yang mendakwakan dirinya sebagai Tuhan; kedua, yang dipercayai bahwa penguasa mendapatkan kekuasaan dari Tuhan atau kekuatan gaib. Durkheim berpendapat bahwa masyarakat dipersatukan dengan agama. Persatuan masyarakat membutuhkan pemimpin. Pemimpin melaksanakan kepemimpinannya didasarkan kepada Agama yang mempersatukan masyarakat yang bersangkutan.
      Sebelum kedatangan penjajah barat, disebagian besar Indonesia sudah berdiri kerajaan kerajaan besar, kerajaan Hindu, kerajaan Budha dan kerajaan Islam. Kekuasaan politik membutuhkan legitimasi. Kekuasaan yang didasarkan kepada Agama dikatakan bahwa ia telah ditentukan oleh Tuhan. Siapa yang akan menjadi penguasa akan mendapat legimitasi dari Tuhan. Legimitasi religius ini memang tidak rasional akan tetapi, kalau dibandingkan dengan sistem demokrasi, sistem yang legimitasinya di gantungkan kepada mayoritas  pilihan rakyat juga tidak objektif dan kurang rasional rasionalitas ditampilkan dari penyampaian visi dan misi. Legimitasi dari sistem deokrasi didasarkan kepada pilihan rakyat. Namun, pilihan rakyat itu tidak pernah secara aklamasi. Karena itu, pilihan di jatuhkan kepada pemilih terbanyak, walaupun dengan rumus paling kurang separo tambah satu kalau yang dipilih itu satu dari dua. Yang menjadi patokan adalah jumlah kepala yang memilih, tidak isi kepala yang memilih.
Asumsi sistem demokrasi bahwa rakyat memilih berdasarkan pengetahuan mereka terhadapkan terhadap visi dan msi calon serta kepercayaan mereka kepada calon, hanya berlaku pada rakyat, minimal pemilih, yang berpendidikan dan mengetahui calon dengan baik. Di masyarakat yang kebayakan pemilih tidak rasional, tetapi pemilih tradisional, yaitu yang mendasarkan pemilih kepada agama, etnis, keturunan, dan suku bangsa si calon, seperti kebanyakan pemilih di Indonesia, menang di kalangan rakyat yang kurang berpendidikan dan bersifat primoridial atau paternalisme adalah mampu memengaruhi rakyat yang kurang kritis. Yang akan menang juga yang pandai mendekati pemimpin informal. Karena itu, kita menyaksikan di musim kampanye, baik pemilihan legislatif atau pemilihan presiden dan wakil presiden, kiai-kiai dan pemimpin pesantren sering dikunjungi oleh calon. Kalau berhasil mempengaruhi kiai dan pemimpin pesantren, besar kemungkinan akan menang karena kiai dan pesantren di Jawa punya pengikut yang sangat banyak. Pengikut kiai dan pemimpin pesantren sangat patuh kepada kiainya.
Kemudian melaksanakan pemilihan umum, apalagi di negara sebesar Indonesia ini dengan daerah-daerah yang banyak masih sulit dijangkau dengan mobil dan kereta api, tentu membutuhkan biaya yang sangat banyak. Biaya itu bukan hanya dibutuhkan komisi pemilihan umum (KPU) saja, tetapi para calon legislatif dan calon presiden serta wakilnya harus mengeluarkan biaya demikian besar untuk berkampanye di kalangan rakyat Indonesia yang bermacam ragam dan tinggal terpencar-pencar di seantero wilayah Republik Indonesia. Seperti ketua KPU Nazaruddin dalam suatu pertemuan di Jakarta tanggal 6 Mei 2004 mengajukan perkiraan biaya KPU untuk menyelenggarakan pemilu sebanyak Rp 3,2 triliun. Direktur Eksekutif Pusat Reformasi (Cetro), Hadar Navis Gumay, mengatakan bila dihitung secara rata-rata biaya pilpres per orang pemilih adalah Rp 16,123. Hasil itu didapat dengan membagikan jumlah anggaran pilpres sebesar Rp 2,5 triliun dengan 155,048,803 pemilih di seluruh Indonesia. “sedangkan biaya Pilkada adalah Rp 28,145 per orang, 56 persen lebih besar dibanding pilpres,” kata Handar dalam diskusi soal pilkada di Jakarta, Rabu 9 Maret 2004.
Kemudian legitimasi dari Tuhan seperti dalam teokrasi biasa dianggap sebagai alat untuk memantapkan kekuasaan diktator. Dengan menyandarkan kekuasaan dan juga kebijakan yang ditempuh kepada Tuhan dan agama, rakyat tidak punya hak lagi untuk mengkritik sang penguasa. Anggapan ini benar kalau agama yang dimaksud adalah agama sosiologis atau antropologis, kalau pilihan dijatuhkan pada seorang calon presiden atau wakil presiden atau calon legislatif hanya sekedar mengusung label agama atau partai agama untuk mempengaruhi rakyat. Akan tetapi, kalau beragama secara teologis, yaitu melaksanakan dan menghayati segala aspek ajaran agama, ia tidaklah akan menjadi diktator. Ia bertanggung jawab tidak hanya kepada dewan perwakilan rakyat, tetapi pertama-tama kepada Allah yang Maha Mengetahui segala dilakukannya.

D.    Hubungan Agama dengan Politik
Agama dan politik merupakan satu hal yang berbeda jika dilihat dari sisi definisi. Tapi agama dan politik bisa bagai dua sisi mata uang, bersatu tapi tidak bertemu. Agama mengajarkan keshalehan pribadi dan sosial, sedang politik hingga saat ini dan dalam realitasnya mengajarkan siasat, strategi, lobi, yang berinti pada kekuasaan. Ketika orang telah berbicara kekuasaan, dominasi mayoritasnya adalah nafsu serakah, keinginan untuk berkuasa. Jika hal ini yang terjadi maka kesalehan pribadi dan sosial akan terpinggirkan, demi kekuasaan, bukankah ini yang terjadi di dunia ini? Dalam politik kita mengenal kiasan yang aneh tapi nyata, ”tidak ada kawan abadi yang ada adalah kepentingan abadi”. Jika berbicara kepentingan ini juga berkait erat dengan kekuasaan. Demi kekuasaan lawan bisa jadi kawan.

Politik Agama
Politik agama, saya memahami politik agama sebagai usaha memasukan nilai-nilai agama dalam kehidupan berpolitik. Orang yang berpolitik dengan agama tujuannya bukan kekuasaan tetapi untuk memperjuangkan kesejahteraan hidup konstituennya, yaitu ”rakyat”, golongan manusia yang paling tersingkir hidupnya dalam perang para politisi untuk kekuasaan. Memasukan nilai-nilai agama dalam perpolitikan dinegara ini mungkin pernah ada (pada jaman dahulu) sekaligus dicontohkan oleh politisi yang beragama. Tapi Politik agama akan sangat memiliki arti yang sangat mengerikan jika agama dijadikan object politik/ politisasi agama. Ketika Agama dijual hanya untuk mendapatkan dukungan kekuasaaan maka hilanglah ruh keagamaan itu sendiri yang pada intinya mengajarkan manusia pada keshalehan sosial dan ritual. Sebelum berkuasa panji-panji agama senantiasa berkumandang dari bibirnya, tetapi setelah mendapatkan kuasa, tak sedikitpun nilai-nilai Agama merasuk dalam dirinya, malah tingkah laku korup yang akhirnya menjerat dirinya dalam tudingan hukum sosial.

Agama Politik
Sedang Agama politik, bagai satu keping mata uang, walau satu tapi tak bisa bertemu. Walau tak bertemu tetapi bisa mempunyai hubungan dan keterikatan yang erat satu sama lain. Misalnya orang yang mendewa-dewakan politik sebagai jalan hidup dan pemikirannya, bisa dikatakan orang tersebut telah menjadikan politik sebagai Agamanya dan kekuasaan menjadi Tuhannya. Hal ini sesuai dengan pengertian Agama secara umum yang berarti pegangan hidup, aturan, ajaran, ketaatan dan lain-lain.
Jika yang di bicarakan agama yang sebenarnya, dan politik yang sebenarnya juga sangat erat hubungannya. Politik yang baik dan benar mestinya ber pedoman pada ajaran Agama. Nilai-nilai akhlak dan moral agama bisa ditarik untuk membangun etika politik sehingga politik menjadi sesuatu yang bermoral, etis dan tidak menghalakan segala cara. Agama punya peranan hubungan manusia dengan tuhan dan politik hubungan manusia dengan manusia. Namun masyarakat pada umumnya sudah memfonis politik itu jahat kotor, curang serta kejam dan lain-lain. Dan dalam kenyataannya politisi yang sukses politisi yang di sukai rakyat adalah mereka yang menggunakan Agama sebagai permainan politiknya.
Contohnya: politisi yang membela rakyat yang lemah.
"Substansi agama itu harus diterapkan di politik, maka marilah kita berpolitik dengan substansi yang ada di agama sehingga kita berpolitik dengan moral yang baik."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar